Gualawa,
Wisata Yang Mempunyai Daya Tarik Keilmuan, Budaya Masyarakat Dan
Keagamaan. Gua yang tersusun dari batuan lava sangat unik dan menarik
jika fokus dikembangkan sebagai wisata geologis (geowisata). Dari
struktur batuan pembentuknya, Gua Lawa yang berada di Desa Siwarak,
Kecamatan Karangreja, tidak ada tandingannya. Di Indonesia, gua lava
(Lava Tube) hanya ada di Purbalingga dan Bali.
Hal tersebut terungkap dalam pembahasan ‘Identifikasi Potensi dan Kondisi Gua Lawa’, di aula Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Dinbudparpora) Purbalingga, Kamis (9/7). Pembahasan tersebut menghadirkan konsultan CV Tunas dari Semarang. Tim konsultan tersebut diantaranya terdiri dari ahli gua (speleologi), ahli geologi, ahli pariwisata, ahli pariwisata dan sosial ekonomi. Pembahasan dipimpin Kepala Dinbudparpora Drs Subeno, SE, M.Si. Ikut hadir dalam pembahasan tersebut, Staf Ahli Bupati Bidang Pembangunan Drs Suparso, Kabid Pariwisata Ir Prayitno, M.Si dan para anggota Tim teknis dari SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait.
Menurut tim leader konsultan Agus Rochani, berdasarkan survei keguaan dengan metode Lead Frog Method dan pengukuran Chamber menggunakan metode poligon terbuka, luas ruangan Gua Lawa 6.683 meter persegi dengan panjang dari ujung ke ujung 1.200 meter. Semua bagian gua terbentuk dari lava gunung yang membeku. Lorong lava terbentuk pada aliran lava basal yang relatif encer dengan viskositas rendah, dan pada bagian permukaannya telah mengerak dan membeku. Sementara pada bagian dalamnya masih cair dan panas dengan suhu lebih dari 1.100 derajat celcius, dan tetap mengalir sehingga pada akhirnya menyisakan ruang berbentuk ruang atau tabung (tube).
“Gua bentukan dari lava yang membeku itu hanya ada dua, yakni di Bali dan di Gua Lawa Purbalingga. Oleh karenanya, kami mengusulkan Gua Lawa dijadikan Geowisata yang unik dan menarik,” kata Agus. Dikatakan Agus Rochani, Geowisata merupakan kegiatan wisata berkelanjutan dengan fokus utama pada kenampakan ekologis permukaan bumi. Geowisata dapat dijadikan jembatan dalam rangka sosialisasi ilmu pengetahuan, pendidikan lingkungan dan pelestarian alam. “Kami yakin, wisata Gua Lawa jika diarahkan ke Geowisata akan lebih menjual,” ujarnya.
Agus menambahkan, dari survei ruang di dalam Gua Lawa, masih ada dua ruangan yang masih misteri dan belum dibuka untuk wisatawan. Ruangan itu digunakan untuk koloni kelelawar, dan sebagian masih ditutupi lumpur.
“Satu ruangannya cukup luas, sekitar 50 an meter persegi, sedang satu ruangan lagi berbentuk kecil memanjang. Ujung kedua ruangan ini tidak berhubungan dengan ruangan gua lainnya. Ventilasi ruangan ini memang tidak ada, berbeda dengan ruangan lain yang mendapatkan pasokan ventilasi dari lobang besar, “ kata Agus sembari menyarankan, lobang ventilasi perlu dibuat terbuka atau menggunakan bahan transparan.
Di sisi Utara Gua Lawa, terdapat Gua Lorong Kereta. Dari hasil survei, Gua ini memiliki dua jalur dan keduanya saling bertemu. Panjang jalurnya antara 140 – 170 meter. Koloni kelelawar masih banyak terdapat di dalam ruangan gua ini. Lumpur juga masih terdapat di dalam gua. Lumpur ini diperkirakan berasal dari timbunan tanah dari salah satu ujung gua yang saat ini sudah rapat.
“Mengingat lobang ventilasi udara tidak ada di bagian tengah jalur, kami menyarankan Gua Lorong Kereta lebih cocok untuk wisata minat khusus caving (telusur gua). Wisatawan sebaiknya melakukan penelusuran pada pagi atau sore hari. Kami menyarankan, satu kali rombongan masuk cukup 15 – 20 orang. Hal ini berkaitan dengan ruangan yang sempit dan ketersediaan oksigen di dalam gua,” kata Agus Rochani.
Sementara Kadinbudparpora, Subeno mengatakan, Pemkab Purbalingga berkomitmen mengembangkan Gua Lawa sebagai destinasi wisata berskala nasional. “Pada tahun 2015 ini, Pemkab melalui Dinbudparpora melakukan kajian identifikasi potensi dan kondisi gua, dan dilanjutkan dengan penyusunan Detail Enginering Desaign (DED). Diharapkan, tahun 2016 pembenahan Gua Lawa beserta wahana pendukungnya dapat dilaksanakan,” ujar Subeno.
KONDISI GEOLOGI GUA LAWA
Secara regional daerah wisata Gua Lawa terdiri dari formasi batuan lava Gunung Slamet (Qvls) yang terdiri dari lava andesit yang berongga dan penyebarannya di lereng timur Gunung Slamet. Batuan ini menumpang secara tidak selaras di atas Formasi Halang yang terdiri dari batupasir konglomerat tuffaan dan napal
Secara stratigrafi, batuan penyusun tubuh Gua Lawa dan daerah sekitarnya berupa batuan beku andesit basaltik. Secara megaskopis (melalui pengamatan mata telanjang) dapat diamati dengan jelas berkembangnya struktur skoria. Struktur ini memperlihatkan adanya lubang-lubang bekas gelembung gas yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Kehadiran struktur ini menghasilkan porositas batuan yang tinggi. Batuan penyusun Gua Lawa secara umum tersusun atas mineral-mineral plagioklas dan gelas volkanik serta oksida besi yang mengisi bagian kecil rongga-rongga.
Struktur geologi yang dijumpai di Gua Lawa umumnya berupa kekar (retakan) yang dihasilkan oleh dua faktor utama yaitu struktur pendinginan dan struktur tektonik. Kekar hasil proses pendinginan lava murupakan retakan yang umum di Gua Lawa. Rekahan pendinginan magma yang teramati di Gua Lawa membentuk retakan-retakan vertikal yang tidak menerus Retakan-retakan verikal ini membentuk batuan menjadi blok-blok yang berukuran hingga beberapa meter. Retakan ini umumnya tidak menerus dan berukuran panjang 50 cm hingga beberapa meter. Retakan hasil proses pendinginan yang berdimensi vertikal ini umumnya membentuk celah yang rapat, sehingga walau batuan retak namun masih saling mengunci dan membentuk atap-atap gua yang kokoh da tidak mudah runtuh. Retakan-retakan horisontal umumnya merupakan batas antar tubuh lava tua. Retakan pendinginan horisontal kemungkinan memiliki kemenerusan yang tinggi. Retakan horisontal di Gua Lawa tampak lebih terbuka dibandingkan retakan vertikal. Terdapat pula struktur pendinginan yang tidak membentuk retakan namun membentuk alur-alur menyerupai lapisan pada batuan sedimen. Lapisan-lapisan ini terbentuk sebagai batas waktu pendinginan lava. Alur-alur ini terbentuk melingkari alur gua dan memanjang searah gua sejajar dengan arah aliran lava. Retakan-retakan sebagai hasil proses tektonikisme tidak banyak dijumpai di Gua Lawa. Retakan tektonik kompresif/tekanan yang umumnya membentuk retakan / kekar-kekar seperti gunting tidak dijumpai di dalam Gua Lawa. Retakan ekstensif/regangan masih dapat dijumpai berupa retakan vertikal yang memanjang dan terbuka hingga 4 cm. Retakan-retakan ini memiliki kemenerusan yang terbatas. Retakan-retakan tektonik ini sangat jarang dijumpai di Gua Lawa. Kekar (rekahan) baik sebagai hasil proses pendinginan magma maupun tektonik tidak berpengaruh pada pembentukan alur-alur gua secara umum. Retakan-retakan ini tidak membentuk rongga atau celah Gua baru, karena tidak terjadi pelarutan pada dinding retakan ini. Sehingga bentuk gua tetap sama dengan bentuk awal gua setelah magma cair terkuras keluar. Retakan di Gua Lawa perlu dipelajari lebih lanjut, hal ini karena retakan ini berpengaruh dalam runtuhnya dinding atas Gua dan terbentuknya koneksi vertikal dengan gua-gua di atas maupun di bawahnya. Balok-balok batu lepas yang dijumpai di bagian pintu masuk gua berukuran hingga beberapa meter besarnya merupakan hasil runtuhan atap gua. Runtuhan atap Gua juga sampai menghasilkan ventilasi-ventilasi Gua. Hal ini menyebabkan Gua tertutup dan terkotori oleh balok-balok batu runtuhan atap dan tanah atau lumpur yang masuk kemudian. Arah tubuh Gua Lawa sangat bervariasi, namun secara umum berarah utara barat laut-selatan tenggara (sekitar N 345O E) hingga timurlaut-barat daya (sekitar N 35O E). Arah-arah kekar/retakan batuan lebih bervariasi baik utara-selatan, barat-timur, baratlaut-tenggara maupun baratdaya-timur laut. Arah retakan tektonik lebih menunjukkan arah baratdaya-timurlaut. Pengamatan lapangan tentang arah umum gua tidak mengikuti arat-arah kekar.
Bagian atas gua yang tampak di permukaan merupakan daerah miring landai hingga datar bergelombang. Secara lebih luas bersama daerah sekitarnya Gua Lawa berada pada daerah lereng pegunungan. Daerah ini merupakan sisi timur dari Gunung Slamet sekarang. Morfologi di mana kini Gua Lava berada kemungkinan tidak jauh berbeda dari morfologi awal pembentukan gua, dimana gua terbentuk di darat dengan kemiringan lereng yang tinggi. Suhu udara luar ketika pembentukan lava pembentuk gua kemungkinan juga cukup dingin hingga ketebalan magma yang membeku dipermukaan cukup tebal hingga terhindar dari keruntuhan. Kondisi ini dimungkinkan terbentuk pada daerah pengunungan dengan suhu udara yang relatif dingin.
Batuan lava penyusun Gua Lawa memiliki porositas yang tinggi. Dengan struktur skoria dimana lubang-lubangnya saling berhubungan memungkinkan untuk penyimpanan dan pengaliran air tanah. Aliran air di pemukaan lantai gua dan tetesan air dari atap gua dapat diamati pada musim hujan. Tubuh genangan air dapat dengan mudah teramati di dalam gua. Genangan air ini tetap terisi air walaupun di musin kemarau. Cebakan air bawah tanah yang tersimpan di dalam gua dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bagi masyarakat di musim kemarau. Kondisi hidrologi ini juga mempunyai dampak pada aliran lumpur yang mengotori dan menutup tubuh-tubuh alur gua yang berada di bagian bawah. Rembesan air juga menyebabkan proses pembentukan karbonat dari mineral plagioklas. Pembentukan lapisan-lapisan karbonat pada bagian kecil dinding gua dapat diamati di sekitar genangan air Sendang Derajat. Di beberapa bagian lapisan karbonat ini mencapai tebal 2 cm dan membentuk seperti mikro stalagtit.
Genesa Gua Lawa Magma yang keluar pada permukaan bumi bersifat encer, panas dan berpijar mengalir dari sumber erupsi volkanik. Magma ini mengalir dari sumbernya di permukaan bumi menuju bagian yang elevasinya lebih rendah. Akibat kontak antara magma dengan udara di permukaan, maka bagian tubuh magma yang berada di permukaan dan di bawahnya akan membeku terlebih dahulu dan berhenti mengalir. Bagian magma yang berada paling bawah dari tubuh aliran lava akan tetap cair, akibat panas yang masih tinggi. Dikontrol oleh morfologi purba, magma cair di bagian bawah ini akan terus mengalir menuju tempat-tempat dengan elevasi yang lebih rendah. Magma di bagian bawah yang masih mengalir ini meninggalkan bagian yang telah membeku di atasnya. Hilangnya bagian lava yang masih cair di bagian bawah ini meninggalkan rongga-rongga. Rongga-rongga ini merupakan saluran aliran lava pijar di bawah permukaan bumi dari sumber erupsinya menuju tempat-tempat yang secara elevasi lebih rendah. Pembentukan rongga-rongga baru dapat terus berlanjut pada aliran lava baru dari erupsi yang masih terus berlangsung di atas tubuh lava yang telah membeku. Tubuh aliran lava baru ini berkembang di atas gua-gua lain yang telah terbentuk di bawah. Bila hal ini berlangsung terus maka dapat dihasilkan beberapa tubuh gua yang tersusun secara vertikal. Arah pelelehan magma seperti pada gambar 2 di bawah ini, yaitu mengikuti morfologi purba pada formasi Halang.
LEGENDA GUA LAWA
Gua Lawa selain sebagai fenomena alam dengan karakteristik fisik dan proses yang khas, juga tersimpan kisah-kisah legenda di dalamnya. Kolaborasi antara karakter fisik dan legenda-legenda tokoh mencirikan Gua Lawa sebagai lokasi yang universal antara perilaku alam dan budaya. Bentuk-bentuk batuan dan ruang di dalam Gua Lawa menceritakan gambaran tokoh dan imajinasi mistis. Semua bagian tersebut mempunyai kisah legenda tersendiri. Memang kadang sulit untuk mengkaitkan kronologi budaya dalam legenda tersebut, tetapi bagaimanapun legenda sudah menunjukkan bahwa Gua Lawa sebagai warisan alam sudah mendapat perhatian dan sentuhan dari manusia. Seperti terdapatnya Gua Dada Lawa, yang sangat mirip dengan dada kelelawar (tubuh bagian ventral) yang sedang membentangkan sayapnya. Ditempat ini dulu merupakan tempat sarang kelelawar, bagaimana ilmu pengetahuan menguraikan antara karakter fisik batuan dengan karakter ekosistem di dalam Gua Dada Lawa ini? Apakah memang ada keterkaitan antara habitat kelelawar dengan fenomena fisik batuan lava yang mirip dada lawa? Cerita yang lain seperti adanya Gua Ratu Ayu, konon kabarnya didalam Gua itu ada dua orang wanita cantik yang bernama Endang Murdaningsih dan Endang Murdaningrum. Kedua puteri cantik itu mempunyai tiga ekor binatang kesayangan, berupa tiga ekor harimau. Kemudian di ruangan lain terdapat Sendang Derajat yang dikisahkan dapat menyebabkan awet muda bagi yang membasuh muka dengan air sendang tersebut. Kemudian ditempat lain ada batu keris dan Gua Pertapaan yang digunakan untuk bersemedi bagi yang ingin mendapat kekuatan. Setelah itu terdapat Gua Langgar yang didalamnya ada tempat pengimaman yang menghadap ke arah Kiblat. Gua ini dikisahkan sebagai tempat bersembahyang para wali waktu penyebaran agama Islam. Di tempat lain juga terdapat Gua Cepet, yang diyakini masyarakat sebagai tempat berkumpulnya makluk halus. Gua ini konon sering menyesatkan orang sehingga sulit keluar. Demikian kisah legenda-legenda dari ruangan dan bentuk batu di Gua Lawa, kesemuanya merupakan bagian tersendiri dan tidak terkait satu dengan yang lainnya. Tetapi dari pengkajian geowisata, Gua Lawa adalah merupakan kolaborasi antara wisata yang mampu memiliki daya tarik keilmuan, budaya masyarakat dan keagamaan.
Hal tersebut terungkap dalam pembahasan ‘Identifikasi Potensi dan Kondisi Gua Lawa’, di aula Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Dinbudparpora) Purbalingga, Kamis (9/7). Pembahasan tersebut menghadirkan konsultan CV Tunas dari Semarang. Tim konsultan tersebut diantaranya terdiri dari ahli gua (speleologi), ahli geologi, ahli pariwisata, ahli pariwisata dan sosial ekonomi. Pembahasan dipimpin Kepala Dinbudparpora Drs Subeno, SE, M.Si. Ikut hadir dalam pembahasan tersebut, Staf Ahli Bupati Bidang Pembangunan Drs Suparso, Kabid Pariwisata Ir Prayitno, M.Si dan para anggota Tim teknis dari SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait.
Menurut tim leader konsultan Agus Rochani, berdasarkan survei keguaan dengan metode Lead Frog Method dan pengukuran Chamber menggunakan metode poligon terbuka, luas ruangan Gua Lawa 6.683 meter persegi dengan panjang dari ujung ke ujung 1.200 meter. Semua bagian gua terbentuk dari lava gunung yang membeku. Lorong lava terbentuk pada aliran lava basal yang relatif encer dengan viskositas rendah, dan pada bagian permukaannya telah mengerak dan membeku. Sementara pada bagian dalamnya masih cair dan panas dengan suhu lebih dari 1.100 derajat celcius, dan tetap mengalir sehingga pada akhirnya menyisakan ruang berbentuk ruang atau tabung (tube).
“Gua bentukan dari lava yang membeku itu hanya ada dua, yakni di Bali dan di Gua Lawa Purbalingga. Oleh karenanya, kami mengusulkan Gua Lawa dijadikan Geowisata yang unik dan menarik,” kata Agus. Dikatakan Agus Rochani, Geowisata merupakan kegiatan wisata berkelanjutan dengan fokus utama pada kenampakan ekologis permukaan bumi. Geowisata dapat dijadikan jembatan dalam rangka sosialisasi ilmu pengetahuan, pendidikan lingkungan dan pelestarian alam. “Kami yakin, wisata Gua Lawa jika diarahkan ke Geowisata akan lebih menjual,” ujarnya.
Agus menambahkan, dari survei ruang di dalam Gua Lawa, masih ada dua ruangan yang masih misteri dan belum dibuka untuk wisatawan. Ruangan itu digunakan untuk koloni kelelawar, dan sebagian masih ditutupi lumpur.
“Satu ruangannya cukup luas, sekitar 50 an meter persegi, sedang satu ruangan lagi berbentuk kecil memanjang. Ujung kedua ruangan ini tidak berhubungan dengan ruangan gua lainnya. Ventilasi ruangan ini memang tidak ada, berbeda dengan ruangan lain yang mendapatkan pasokan ventilasi dari lobang besar, “ kata Agus sembari menyarankan, lobang ventilasi perlu dibuat terbuka atau menggunakan bahan transparan.
Di sisi Utara Gua Lawa, terdapat Gua Lorong Kereta. Dari hasil survei, Gua ini memiliki dua jalur dan keduanya saling bertemu. Panjang jalurnya antara 140 – 170 meter. Koloni kelelawar masih banyak terdapat di dalam ruangan gua ini. Lumpur juga masih terdapat di dalam gua. Lumpur ini diperkirakan berasal dari timbunan tanah dari salah satu ujung gua yang saat ini sudah rapat.
“Mengingat lobang ventilasi udara tidak ada di bagian tengah jalur, kami menyarankan Gua Lorong Kereta lebih cocok untuk wisata minat khusus caving (telusur gua). Wisatawan sebaiknya melakukan penelusuran pada pagi atau sore hari. Kami menyarankan, satu kali rombongan masuk cukup 15 – 20 orang. Hal ini berkaitan dengan ruangan yang sempit dan ketersediaan oksigen di dalam gua,” kata Agus Rochani.
Sementara Kadinbudparpora, Subeno mengatakan, Pemkab Purbalingga berkomitmen mengembangkan Gua Lawa sebagai destinasi wisata berskala nasional. “Pada tahun 2015 ini, Pemkab melalui Dinbudparpora melakukan kajian identifikasi potensi dan kondisi gua, dan dilanjutkan dengan penyusunan Detail Enginering Desaign (DED). Diharapkan, tahun 2016 pembenahan Gua Lawa beserta wahana pendukungnya dapat dilaksanakan,” ujar Subeno.
KONDISI GEOLOGI GUA LAWA
Secara regional daerah wisata Gua Lawa terdiri dari formasi batuan lava Gunung Slamet (Qvls) yang terdiri dari lava andesit yang berongga dan penyebarannya di lereng timur Gunung Slamet. Batuan ini menumpang secara tidak selaras di atas Formasi Halang yang terdiri dari batupasir konglomerat tuffaan dan napal
Secara stratigrafi, batuan penyusun tubuh Gua Lawa dan daerah sekitarnya berupa batuan beku andesit basaltik. Secara megaskopis (melalui pengamatan mata telanjang) dapat diamati dengan jelas berkembangnya struktur skoria. Struktur ini memperlihatkan adanya lubang-lubang bekas gelembung gas yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Kehadiran struktur ini menghasilkan porositas batuan yang tinggi. Batuan penyusun Gua Lawa secara umum tersusun atas mineral-mineral plagioklas dan gelas volkanik serta oksida besi yang mengisi bagian kecil rongga-rongga.
Struktur geologi yang dijumpai di Gua Lawa umumnya berupa kekar (retakan) yang dihasilkan oleh dua faktor utama yaitu struktur pendinginan dan struktur tektonik. Kekar hasil proses pendinginan lava murupakan retakan yang umum di Gua Lawa. Rekahan pendinginan magma yang teramati di Gua Lawa membentuk retakan-retakan vertikal yang tidak menerus Retakan-retakan verikal ini membentuk batuan menjadi blok-blok yang berukuran hingga beberapa meter. Retakan ini umumnya tidak menerus dan berukuran panjang 50 cm hingga beberapa meter. Retakan hasil proses pendinginan yang berdimensi vertikal ini umumnya membentuk celah yang rapat, sehingga walau batuan retak namun masih saling mengunci dan membentuk atap-atap gua yang kokoh da tidak mudah runtuh. Retakan-retakan horisontal umumnya merupakan batas antar tubuh lava tua. Retakan pendinginan horisontal kemungkinan memiliki kemenerusan yang tinggi. Retakan horisontal di Gua Lawa tampak lebih terbuka dibandingkan retakan vertikal. Terdapat pula struktur pendinginan yang tidak membentuk retakan namun membentuk alur-alur menyerupai lapisan pada batuan sedimen. Lapisan-lapisan ini terbentuk sebagai batas waktu pendinginan lava. Alur-alur ini terbentuk melingkari alur gua dan memanjang searah gua sejajar dengan arah aliran lava. Retakan-retakan sebagai hasil proses tektonikisme tidak banyak dijumpai di Gua Lawa. Retakan tektonik kompresif/tekanan yang umumnya membentuk retakan / kekar-kekar seperti gunting tidak dijumpai di dalam Gua Lawa. Retakan ekstensif/regangan masih dapat dijumpai berupa retakan vertikal yang memanjang dan terbuka hingga 4 cm. Retakan-retakan ini memiliki kemenerusan yang terbatas. Retakan-retakan tektonik ini sangat jarang dijumpai di Gua Lawa. Kekar (rekahan) baik sebagai hasil proses pendinginan magma maupun tektonik tidak berpengaruh pada pembentukan alur-alur gua secara umum. Retakan-retakan ini tidak membentuk rongga atau celah Gua baru, karena tidak terjadi pelarutan pada dinding retakan ini. Sehingga bentuk gua tetap sama dengan bentuk awal gua setelah magma cair terkuras keluar. Retakan di Gua Lawa perlu dipelajari lebih lanjut, hal ini karena retakan ini berpengaruh dalam runtuhnya dinding atas Gua dan terbentuknya koneksi vertikal dengan gua-gua di atas maupun di bawahnya. Balok-balok batu lepas yang dijumpai di bagian pintu masuk gua berukuran hingga beberapa meter besarnya merupakan hasil runtuhan atap gua. Runtuhan atap Gua juga sampai menghasilkan ventilasi-ventilasi Gua. Hal ini menyebabkan Gua tertutup dan terkotori oleh balok-balok batu runtuhan atap dan tanah atau lumpur yang masuk kemudian. Arah tubuh Gua Lawa sangat bervariasi, namun secara umum berarah utara barat laut-selatan tenggara (sekitar N 345O E) hingga timurlaut-barat daya (sekitar N 35O E). Arah-arah kekar/retakan batuan lebih bervariasi baik utara-selatan, barat-timur, baratlaut-tenggara maupun baratdaya-timur laut. Arah retakan tektonik lebih menunjukkan arah baratdaya-timurlaut. Pengamatan lapangan tentang arah umum gua tidak mengikuti arat-arah kekar.
Bagian atas gua yang tampak di permukaan merupakan daerah miring landai hingga datar bergelombang. Secara lebih luas bersama daerah sekitarnya Gua Lawa berada pada daerah lereng pegunungan. Daerah ini merupakan sisi timur dari Gunung Slamet sekarang. Morfologi di mana kini Gua Lava berada kemungkinan tidak jauh berbeda dari morfologi awal pembentukan gua, dimana gua terbentuk di darat dengan kemiringan lereng yang tinggi. Suhu udara luar ketika pembentukan lava pembentuk gua kemungkinan juga cukup dingin hingga ketebalan magma yang membeku dipermukaan cukup tebal hingga terhindar dari keruntuhan. Kondisi ini dimungkinkan terbentuk pada daerah pengunungan dengan suhu udara yang relatif dingin.
Batuan lava penyusun Gua Lawa memiliki porositas yang tinggi. Dengan struktur skoria dimana lubang-lubangnya saling berhubungan memungkinkan untuk penyimpanan dan pengaliran air tanah. Aliran air di pemukaan lantai gua dan tetesan air dari atap gua dapat diamati pada musim hujan. Tubuh genangan air dapat dengan mudah teramati di dalam gua. Genangan air ini tetap terisi air walaupun di musin kemarau. Cebakan air bawah tanah yang tersimpan di dalam gua dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bagi masyarakat di musim kemarau. Kondisi hidrologi ini juga mempunyai dampak pada aliran lumpur yang mengotori dan menutup tubuh-tubuh alur gua yang berada di bagian bawah. Rembesan air juga menyebabkan proses pembentukan karbonat dari mineral plagioklas. Pembentukan lapisan-lapisan karbonat pada bagian kecil dinding gua dapat diamati di sekitar genangan air Sendang Derajat. Di beberapa bagian lapisan karbonat ini mencapai tebal 2 cm dan membentuk seperti mikro stalagtit.
Genesa Gua Lawa Magma yang keluar pada permukaan bumi bersifat encer, panas dan berpijar mengalir dari sumber erupsi volkanik. Magma ini mengalir dari sumbernya di permukaan bumi menuju bagian yang elevasinya lebih rendah. Akibat kontak antara magma dengan udara di permukaan, maka bagian tubuh magma yang berada di permukaan dan di bawahnya akan membeku terlebih dahulu dan berhenti mengalir. Bagian magma yang berada paling bawah dari tubuh aliran lava akan tetap cair, akibat panas yang masih tinggi. Dikontrol oleh morfologi purba, magma cair di bagian bawah ini akan terus mengalir menuju tempat-tempat dengan elevasi yang lebih rendah. Magma di bagian bawah yang masih mengalir ini meninggalkan bagian yang telah membeku di atasnya. Hilangnya bagian lava yang masih cair di bagian bawah ini meninggalkan rongga-rongga. Rongga-rongga ini merupakan saluran aliran lava pijar di bawah permukaan bumi dari sumber erupsinya menuju tempat-tempat yang secara elevasi lebih rendah. Pembentukan rongga-rongga baru dapat terus berlanjut pada aliran lava baru dari erupsi yang masih terus berlangsung di atas tubuh lava yang telah membeku. Tubuh aliran lava baru ini berkembang di atas gua-gua lain yang telah terbentuk di bawah. Bila hal ini berlangsung terus maka dapat dihasilkan beberapa tubuh gua yang tersusun secara vertikal. Arah pelelehan magma seperti pada gambar 2 di bawah ini, yaitu mengikuti morfologi purba pada formasi Halang.
LEGENDA GUA LAWA
Gua Lawa selain sebagai fenomena alam dengan karakteristik fisik dan proses yang khas, juga tersimpan kisah-kisah legenda di dalamnya. Kolaborasi antara karakter fisik dan legenda-legenda tokoh mencirikan Gua Lawa sebagai lokasi yang universal antara perilaku alam dan budaya. Bentuk-bentuk batuan dan ruang di dalam Gua Lawa menceritakan gambaran tokoh dan imajinasi mistis. Semua bagian tersebut mempunyai kisah legenda tersendiri. Memang kadang sulit untuk mengkaitkan kronologi budaya dalam legenda tersebut, tetapi bagaimanapun legenda sudah menunjukkan bahwa Gua Lawa sebagai warisan alam sudah mendapat perhatian dan sentuhan dari manusia. Seperti terdapatnya Gua Dada Lawa, yang sangat mirip dengan dada kelelawar (tubuh bagian ventral) yang sedang membentangkan sayapnya. Ditempat ini dulu merupakan tempat sarang kelelawar, bagaimana ilmu pengetahuan menguraikan antara karakter fisik batuan dengan karakter ekosistem di dalam Gua Dada Lawa ini? Apakah memang ada keterkaitan antara habitat kelelawar dengan fenomena fisik batuan lava yang mirip dada lawa? Cerita yang lain seperti adanya Gua Ratu Ayu, konon kabarnya didalam Gua itu ada dua orang wanita cantik yang bernama Endang Murdaningsih dan Endang Murdaningrum. Kedua puteri cantik itu mempunyai tiga ekor binatang kesayangan, berupa tiga ekor harimau. Kemudian di ruangan lain terdapat Sendang Derajat yang dikisahkan dapat menyebabkan awet muda bagi yang membasuh muka dengan air sendang tersebut. Kemudian ditempat lain ada batu keris dan Gua Pertapaan yang digunakan untuk bersemedi bagi yang ingin mendapat kekuatan. Setelah itu terdapat Gua Langgar yang didalamnya ada tempat pengimaman yang menghadap ke arah Kiblat. Gua ini dikisahkan sebagai tempat bersembahyang para wali waktu penyebaran agama Islam. Di tempat lain juga terdapat Gua Cepet, yang diyakini masyarakat sebagai tempat berkumpulnya makluk halus. Gua ini konon sering menyesatkan orang sehingga sulit keluar. Demikian kisah legenda-legenda dari ruangan dan bentuk batu di Gua Lawa, kesemuanya merupakan bagian tersendiri dan tidak terkait satu dengan yang lainnya. Tetapi dari pengkajian geowisata, Gua Lawa adalah merupakan kolaborasi antara wisata yang mampu memiliki daya tarik keilmuan, budaya masyarakat dan keagamaan.
No comments:
Post a Comment